Mengupas Tuntas Film Qala: Perjalanan Emosional di Balik Trauma dan Ambisi

Tripti Dimri dan Babil Khan dalam Film Qala.

Ada kisah-kisah yang tidak hanya menceritakan sebuah perjalanan hidup, tetapi juga mengundang penontonnya untuk memahami sisi gelap manusia. Film Qala adalah salah satunya. 

Karya kedua dari Anvita Dutt ini berani menelusuri lorong-lorong pikiran dan hati manusia. Sehingga pertanyaan-pertanyaan tajam tentang trauma masa kecil, ambisi, dan perjuangan perempuan di tengah tekanan masyarakat mungkin terbersit di benak Sobbi setelah menontonnya. Ingin tau lebih banyak seputar film ini? Simak ulasan berikut, yuk!

{tocify} $title={Daftar Isi}

Alur Cerita yang Sukses Mengajak Penonton Melintasi Waktu  

Salah satu daya tarik utama dari Qala adalah alur ceritanya yang tidak linear. Sobbi bisa melihat model alur tersebut sejak menit-menit awal pemutarannya. 

Di dua menit pertama, misalnya, adegan pembuka menampakkan Qala yang semringah. Dia tampil sebagai sosok penyanyi klasik yang telah sukses dan baru saja memenangkan penghargaan Golden Vinyl. 

Namun, raut wajah bahagianya tidak bertahan lama sehingga menimbulkan banyak tanda tanya. Pertanyaan tentang mengapa asisten Qala adalah perempuan juga mengundang rasa penasaran. Tak hanya bagi audiens dan pewawancara yang termasuk dalam film, tetapi bisa jadi juga Sobbi yang menyaksikannya lewat layar kaca.

Dengan kecermatan sang sutradara film Bullbul, Anvita Dutt, kilas balik masa lalu perempuan itu diperlihatkan satu per satu. Mulai dari saat kelahirannya, masa kecil, hingga usia remajanya yang dihabiskan di Desa Himachal Pradesh. Hal yang terjadi pada Qala jelas bukan tanpa alasan.

Potongan-potongan masa lalu yang diperlihatkan juga perlahan menjawab secara utuh tentang apa yang terjadi sebenarnya. Di sisi lain, adanya atmosfer misterius dan skenario begitu kompleks akan membawa Sobbi perlahan mengerti kebimbangan Qala sebagai sosok yang terguncang batinnya.

Karakter dan Pemain yang Totalitas  

Tiap karakter dalam film Qala sangat mencerminkan kompleksitas sifat manusia.  Tokoh utama, misalnya, digambarkan sebagai persona yang memiliki konflik batin seperti dialami kebanyakan orang.  

Triptii Dimri yang memerankan tokoh tersebut juga tampak totalitas. Bahkan, dia terkesan bukan berakting, melainkan menjadi tokoh itu sendiri. Ekspresinya adalah bahasa lain yang menjadikan film mudah dicerna alurnya, bahkan meskipun tidak ada dialog di dalamnya. 

Tatapan kosong dan senyuman getir, semuanya berbicara tentang sebab luka batinnya yang sulit diobati. Triptii membawa penonton untuk ikut larut dalam keputusasaan dan ketakutan Qala, tanpa pernah kehilangan kendali atas karakter itu sendiri.

Di sisi lain, Srijit Mukherji yang memerankan Urmila, sang ibu, menjadi antagonis utama dengan watak kejam. Mimik mukanya sangat mendukung situasi antara ibu dan anak yang sama-sama memiliki konflik batin.

Konflik Film Qala yang Menggugah Pikiran dan Perasaan  

Konflik dalam film Qala tidak hanya menjadi elemen penggerak cerita, tetapi juga menjadi cerminan dari realitas hidup. Perjuangan sang tokoh utama untuk melawan trauma masa lalu sekaligus memenuhi ambisinya adalah inti dari cerita ini.

Di sisi lain, konflik dengan ibunya menambah dimensi pada cerita. Ketegangan antara keduanya memperlihatkan bagaimana hubungan keluarga, yang seharusnya menjadi tempat perlindungan, bisa menjadi sumber luka yang sulit disembuhkan. Tekanan dari industri musik yang didominasi oleh patriarki juga turut menambah beban karakter utama.    

Sinematografi dan Musik Film Bagai Seni yang Berbicara

Jika cerita Qala adalah puisi, sinematografinya adalah tinta yang membentuk setiap kata. Dengan palet warna suram dan pencahayaan yang dramatis, setiap frame terasa seperti lukisan penuh makna. Siddarth Diwan yang ditunjuk sebagai sinematografer sukses menjadikan film Qala menampilkan keindahan visual yang menawan.  

Di samping itu, musik ghazal yang diarahkan Sagar Desai juga menjadi backsound yang menambah dimensi emosional pada film ini. Ada juga Amit Trivedi yang menghadirkan nada dan lagu bak lantunan luka sehingga nuansa klasik dan melankolis makin terasa dalam cerita.  

Selain itu, penggunaan sudut kamera yang tidak biasa juga menciptakan efek psikologis mendalam. Penonton tampak diajak untuk melihat dunia melalui mata Qala, serta menyelami setiap ketakutan dan keraguan yang dirasakannya.

Contohnya, saat mengalami gangguan mental, Qala berlari keluar dari pintu depan dan jatuh di atas salju. Di sudut lain, lampu dalam ruangan disorot dari jauh, seolah mengejek sang tokoh utama. Sesak napas dan kebebasan, hangat dan dingin, harapan dan kenyataan–semuanya terekam dalam satu bidikan dengan warna kuning dan putih yang kontras.  

Qala dan Isu-Isu yang Sering Diabaikan 

Qala adalah film yang berbicara tentang isu-isu penting yang sering kali diabaikan. Trauma masa kecil, yang menjadi tema sentral film ini, ditampilkan dengan sangat nyata. 

Film ini mengingatkan kita bahwa luka yang tidak pernah disembuhkan dapat menghantui seseorang sepanjang hidupnya. Ambisi juga menjadi sorotan, memperlihatkan sisi gelap dari keinginan untuk sukses yang sering kali mengorbankan kesehatan mental. 

Tidak kalah penting, film Qala juga menggambarkan perjuangan perempuan dalam menghadapi stereotip dan tekanan sosial. Melalui karakter Qala, penonton diajak untuk merenungkan betapa sulitnya menjadi perempuan dalam masyarakat yang sering kali tidak adil.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama